Ringkasan: Reciprocity, death and the regeneration of life and plants in Nusa Penida (Bali)

Posted

by

Nusa Penida, terletak di antara Bali dan Lombok, lebih tepatnya di Selat Lombok. Sebelum penjajahan Belanda, Raja-Raja dari Bali menggunakan pulau ini sebagai penjara. Per tahun 1990, Nusa Penida ditempati oleh 46.000 jiwa, yang mayoritas bekerja sebagai penanam jagung dan singkong. Kedua tanaman yang dikultivasi ini merupakan makanan pokok masyarakatnya. Padi sendiri, tadinya, hanya dikultivasi untuk keperluan ritual. Dalam cerita rakyat Bali, Nusa Penida dianggap sebagai pulau sumber kesengsaraan, penyakit, kemelaratan. Mungkin, ada kaitannya juga mengapa dulu pulau ini dijadikan tempat pengasingan. Meski begitu, Nusa Penida juga menyimpan kekayaan makna dalam hal menggambarkan proses kehidupan yang mana berkaitan dengan kematian, munculnya tumbuhan, dan reproduksi sosial. Masyarakat Nusa Penida percaya, bahwa tumbuhan yang dapat dikultivasi (kultigen) tumbuh dari darah perempuan muda yang meninggal dan berkaitan dengan siklus agrikultur. Mereka juga percaya bahwa daging dan tulang-tulang yang berasal dari mayat yang telah digali, memiliki peran dalam kesuburan tanaman dan manusia.

Bagian ke-4 dari buku The Potent Dead. Ancestors, Saints and Heroes in Contemporary Indonesia (2002), yang berjudul Reciprocity, death and the regeneration of life and plants in Nusa Penida (Bali), ditulis oleh Rodolfo A. Giambelli, untuk menjelaskan hubungan timbal balik antara kematian dan regenerasi kehidupan manusia dengan tumbuhan berdasarkan perspektif budaya di Nusa Penida, Bali. Terdapat 10 sub-bahasan diakhiri dengan kesimpulan yang bahasannya mencakup persoalan mitos tumbuhan liar dan yang dikultivasi, penguburan dan pembongkaran makam, ritual kematian dan purifikasi roh leluhur, kesuburan manusia dan tumbuhan, hingga transformasi roh leluhur. Saya akan meringkasnya ke dalam beberapa poin.

Mitos yang berkaitan dengan kultigen

Kultigen, tumbuhan yang dapat dikonsumsi, dipercaya tumbuh dari darah anak kecil atau perempuan muda yang mengorbankan dirinya. Konon, diceritakan bahwa suatu kerajaan di Bali terkena musibah: kelaparan, kekeringan. Rajanya tidak berhasil menyelesaikan masalah tersebut. Ia pun meminta petunjuk kepada para dewa dan leluhur. Mereka menyebut bahwa kemelaratan terjadi karena masyarakat ia tidak berlaku sopan kepada para dewa dan leluhurnya. Mereka pun meminta pengorbanan seorang manusia apabila ingin musibah segera berakhir. Sri, salah satu adik Raja bersedia untuk berkorban. Proses pengorbanan dilakukan di ruang publik dengan wajah Sri yang berseri. Darahnya yang terkucur ke Bumi menyebabkan hujan turun lebat semalaman. Ketika Raja mengunjungi makam Sri, ia menemukan tumbuhan padi. Masyarakat percaya bahwa Sri reinkarnasi menjadi tumbuhan padi. Ia menjadi Dewi, Dewi Sri, simbol kesejahteraan, juga fertilitas manusia. Mitos ini berkembang dan ditafsirkan sebagai bentuk hubungan timbal balik antara manusia dan tumbuhan.

Padi tidak banyak dikultivasi di Nusa Penida, karena kurangnya hujan, jadi masyarakat Sakti menanam jagung dan singkong. Meskipun begitu, mitos Dewi Sri tetap relevan, dan tetap dianggap Dewi yang penting untuk dihormati, agar kultigen dapat tumbuh dengan subur. Hubungan antara reproduksi tanaman dan kematian manusia, perlu dipahami berdasarkan pembagian musim di Indonesia, yaitu musim panas, atau kering, dan musim hujan, atau basah. Musim panas terjadi dari bulan Maret hingga September. Periode ini diakhiri oleh musim panen dan pasca-panen, lalu ditandai oleh ritual kematian. Sedangkan musim basah terjadi dari mulai September hingga Maret, ditandai oleh kerja-kerja agrikultur, dari mulai mempersiapkan tanah gembur, hingga menuju panen. Mereka percaya bahwa setiap ritual yang menyangkut dengan kehidupan boleh dilakukan di musim kering, karena musim basah hanya difokuskan pada kerja-kerja agrikultur. Musim basah diasosiasikan dengan hijau, lembab, dan pertumbuhan, sedangkan musim kering diasosiasikan dengan kekeringan, waktu rehat, dan kematian.

Ngebét: daging, tulang-tulang, fertilitas, dan reproduksi tumbuhan

Giambelli mengutip Hertz: budaya ritual kematian dalam masyarakat Proto Melayu dan Austronesia terbagi ke dalam 3 bagian, yaitu penguburan awal (preliminary burial), periode batas (a liminal period), dan upacara terakhir (final ceremony). Periode batas dianggap menjadi inti dari semua prosesnya. Nasib mayat akan ditentukan di periode ini. Pada periode liminal, mayat akan membusuk hingga dagingnya terpisah dari tulang-tulangnya, dan pada saat yang sama, jiwanya gentayangan pada orang yang masih hidup. Ketika mayat sudah terurai dengan baik, maka jiwa tersebut dapat dipanggil dan dilepaskan melalui upacara terakhir. Masyarakat Nusa Penida percaya bahwa manusia dibuat dari air mani laki-laki (kama petak) dan air mani perempuan (kama bang) yang diasosiasikan dengan darah menstruasi. Dalam budaya Bali, hal ini dapat dianalogikan dengan hubungan antara dewi Ratih dan dewa Asmara yang melahirkan dunia.

Serupa dengan Hertz, Giambelli menjelaskan bahwa di Nusa Penida, budaya ritual kematian juga terdiri dari 3 bagian, yaitu persiapan mayat dan penguburan, lalu periode liminal, dan penggalian mayat dan ritual kremasi. Kremasi (ngabén) merupakan ritual yang mengakhiri keseluruhan bagian, yang dimulai dengan penggalian mayat. Proses ini juga berkaitan dengan transformasi mayat tersebut menjadi leluhur yang telah dipurifikasi. Leluhur yang dipurifikasi itu dimulai dengan kematian dan diakhiri dengan penghidupan dengan cara abu kremasi diletakkan di kuil para leluhur atau sanggah kemulan, ditandai dengan dilaksanakannya upacara terakhir atau nganteg linggih

Penguburan: mendem atau nanem sawa

Setelah meninggal, sawa, atau mayat, dimandikan dan disiapkan untuk proses penguburan. Mayat tersebut akan dibalut oleh kain atau tikar, lalu diletakkan dalam makam dengan mengarah ke arah gunung tertinggi di Bali. Di Sakti, penguburan dilakukan oleh ritual yang dipimpin oleh jero dukuh sakti, yang juga nantinya bertugas untuk berkomunikasi dengan para leluhur. Dia juga dapat berbicara dengan Ibu Pertiwi dan roh-roh yang bertempat di Bumi. Setelah ritual penguburan (makingsan sawa), ia akan menghantam makam tersebut dengan tangannya tiga kali dan meminta para dewa untuk menerima nyawa tersebut secara sementara hingga dilakukannya penggalian. Makamnya akan ditandai oleh 3 batu, satu diletakkan pada posisi kepala, satu pada posisi badan, dan satu pada posisi kaki mayat. Di atas kuburan biasanya ditanam pohon bekul untuk mengusir anjing dan léak.

Periode liminal dan ngebét

Biasanya mayat akan digali setelah dikubur selama sekitar 1 tahun. Ketika daging sudah terurai dengan baik, maka mayat akan disebut tasak, apabila daging masih ada di tulang-tulangnya, maka mayat akan disebut matah, dan nantinya akan dipisahkan oleh yang masih hidup. Tentu daging yang dipisahkan itu dikembalikan ke kuburan karena masyarakat percaya bahwa daging dan darah orang-orang meninggal dimiliki oleh Ibu Pertiwi; juga berfungsi sebagai makanannya. “Ibu Pertiwi feeds us, we feed her” tapi mereka juga percaya bahwa daging dan darah itu dikembalikan oleh Ibu Pertiwi melalui kesuburan tumbuhan. Berikut garis besar hubungan timbal balik yang ditulis Giambelli:

Baik Dewi Sri dan Ibu Pertiwi merupakan simbol fertilitas dan saling melengkapi dalam aspek kesuburan tanaman. 

Ketika proses penggalian akan berlangsung, jero dukuh sakti akan ‘membangunkan’ mayat dengan cara memukul-mukul kuburan tiga kali. Pada saat yang sama, ia akan menginformasikan kepada Ibu Pertiwi, dan leluhur lainnya, bahwa mayat tersebut akan dibawa lagi ke Bumi. Lubang makam tidak boleh kosong, atau nanti akan ada korban untuk mengisinya. Maka dilakukan pergantian oleh sumber alam yang disimbolkan sebagai tubuh manusia, seperti tunas dan kelapanya, kokop pisang hijau, dan ayam hidup berwarna hitam. Ritual ini disebut silur bangbang. Setelah ketiga simbol itu dimasukkan ke dalam makam, biasanya, masyarakat akan mengambil, dan menggunakannya. Lalu hanya akan tersisa kain kafan atau sisa-sisa dari mayat tersebut. Maksud dari ritual ini, menunjukkan bahwa apapun yang didapat dari Ibu Pertiwi harus dibalas oleh hal-hal yang memiliki nilai.

Regenerasi kehidupan dan fertilitas

Proses penguburan dan persetubuhan dianggap sebagai simbol fertilitas manusia dan tanah. Laki-laki yang secara sosial di Bali memiliki posisi tinggi, juga perlu mempertahankan posisi itu ketika melakukan persetubuhan. Hal ini juga dianalogikan dengan hubungan Akasa, langit atau Bapak, dan Ibu Pertiwi, Bumi. Akasa diposisikan superior (malingeb) dan Ibu Pertiwi diposisikan sebaliknya (malumah). Tapi posisi ini saya kira perlu dipahami tetap dalam konteks kombinasi yang dapat menghasilkan kehidupan, bukan dalam hal posisi diskriminatif. 

Di Nusa Penida dan Bali, manifestasi feminitas, seksualitas, dan fertilitas, direpresentasikan oleh tiga dewi, yaitu dewi Sri, Ibu Pertiwi, dan Rangda. Dewi Sri, seperti cerita sebelumnya, merupakan perempuan yang belum menikah. Ibu Pertiwi disimbolkan sebagai perempuan yang sudah menikah. Lalu, Rangda dijelaskan sebagai perempuan yang diceraikan. Dewi Sri menyimbolkan bahwa fertilitas didapat melalui pengorbanan tubuh, yang nantinya menjadi tumbuhan. Ia memiliki keturunan dalam bentuk kesuburan tanaman.  Ibu Pertiwi menyimbolkan perempuan ideal yang sudah menikah, yang dapat melanjutkan keturunan dari persetubuhan dengan pasangannya yang sah. Sedangkan Rangda, menyimbolkan fertilitas liar (mandul?) yang diasosiasikan dengan hasrat seksual menggebu-gebu, mengancam keharmonisan pasangan sah. Seks bagi Ibu Pertiwi ditujukan untuk prokreasi, sedangkan bagi Rangda hanya untuk bersenang-senang. Tapi ada cerita bahwa Rangda dapat subur kembali setelah meninggalkan kehidupan seks liarnya dan berkorban seperti dewi Sri. Baik dewi Sri dan Rangda, menjadi kesatuan yang termanifestasikan dalam simbol Ibu Pertiwi.


Feature image: https://tirto.id/sejarah-upacara-adat-ngaben-di-bali-tujuan-dan-jenis-jenisnya-gzSa


Categories

error: Sorry, content is protected!